Pantaskah Mobil Listrik jadi Mobil Pertama dan Tunggal?

beli Hyundai Stargazer bisa dapat Hyundai IONIQ 6

Belakangan pabrikan mobil listrik semakin masif mengenalkan berbagai produk terbaru. Pilihan beragam, rentang harga yang semakin luas, akhirnya membuka kesempatan lebih besar bagi konsumen untuk mulai mempertimbangkan memiliki mobil listrik jadi mobil pertama.

Masalah utamanya tak sekadar itu saja, apakah mobil listrik benar-benar cocok menjadi mobil pertama dan satu-satunya untuk digunakan berbagai kebutuhan dan kondisi?

Menjawab pertanyaan ini, kami membuat pengujian dengan melakukan perjalanan antar kota selama 4 hari 3 malam menggunakan mobil listrik teranyar dari Hyundai, Ioniq 6. Destinasi akhir menuju Yogyakarta dan kami melakukan perjalanan ini tanpa melakukan perencanaan sebelumnya.

Kondisi baterai 89% pada MID Ioniq 6 diklaim bisa menempuh 515 km

Memulai perjalanan di pagi hari tepat pukul 07.00 WIB pada hari Sabtu, 20 Januari 2024. Kondisi baterai 89% dengan sisa jarak tempuh 515 km menurut kalkulasi Multi Information Display (MID) pada mobil. Asumsi kami, pengisian ulang daya baterai dapat dilakukan setelah tiba di kota Semarang yang berjarak 455 km dari lokasi keberangkatan.

Lalu lintas selama perjalanan tergolong lancar mengingat hari masih cukup pagi saat itu. Kami berjumlah 3 orang dengan barang bawaan 2 koper berukuran kabin di dalam bagasi, memutuskan untuk beristirahat sejenak di rest area km 57 untuk mengisi perut agar tenang selama perjalanan.

Bagasi luas mampu mengkomodir berbagai barang bawan

Selang 45 menit berlalu, kami melanjutkan perjalanan hingga akhirnya mendapati sedikit kemacetan di ruas tol Palikanci di km 202 – 204. Kemacetan ini diakibatkan oleh truk kontainer terbalik dan menutup sebagian badan jalan. Setelahnya lalu lintas cukup lengang dan tak terasa kami memacu Hyundai Ioniq 6 hingga kecepatan 160 km/jam.

Banderol 1,2 miliar rupiah barulah terasa istimewa saat melakukan perjalanan jauh dengan kecepatan tinggi seperti ini. Berkat tenaga 326 PS dan torsi 605 Nm, mobil ini sungguh terasa ringan melaju di atas 100 km/jam. Sedikit saja sentuhan pedal gas, sudah membuatnya menghilang dari pandangan dengan akselerasi yang instan.

Tak hanya itu, desain yang menonjolkan aerodinamika superior ini baru terasa signifikan saat berada di kecepatan 140 km/jam. Kabin tetap terasa hening tanpa suara angin yang berlebihan seperti pada mobil umumnya. Padahal tak terdengar sedikit pun raungan mesin, jelas saja sebagai mobil listrik yang terdengar hanyalah deru suara ban bersentuhan dengan aspal.

Charge di rest area km 379 ada fasilitas SPKLU ultra fast charging berkapasitas 200 kw

Tapi ternyata hal ini juga yang menjadi masalah kemudian. Begitu hampir menyentuh km 300, kami baru sadar ternyata daya baterai berkurang lebih cepat dari prediksi dan kalkulasi MID di awal keberangkatan. Mendadak peringatan daya tersisa 20% muncul.

Seketika kami mengurangi kecepatan agar stabil di 100 km/jam saja, agar dapat mencapai rest area km 379 sebagai tempat dengan ketersediaan fasilitas SPKLU ultra fast charging berkapasitas 200 kw. Jantung berdebar penuh rasa khawatir, akhirnya kami tiba di tempat yang menjadi harapan dengan baterai tersisa 2% saja.

Berbagai fasilitas lengkap tersedia di area tersebut, kami memutuskan untuk makan siang mengingat waktu tepat menunjukkan pukul 13.00, sembari melakukan pengisian daya mobil listrik berdesain nyentrik ini. Terbayar mahar 168 ribu rupiah dan 71 menit berlalu, kami sudah selesai beristirahat sambil menuntaskan sisa terakhir sate kambing yang kami pesan.

Menyambangi Candi Prambanan

Menuju ke mobil, ternyata pengisian daya tidak mencapai 100%. Namun, melihat jumlah daya listrik yang telah terisi sebanyak 62,213 kWh, baterai menunjukkan telah terisi 80% dengan jarak tempuh 437 km, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan estimasi tiba di yogyakarta pukul 4 sore.

Selama perjalanan ini kami menggunakan mode berkendara Normal, terkadang mengaktifkan mode Sport untuk sekadar menyalip sejumlah kendaraan yang menghalangi. Benar saja, setibanya di hotel tempat kami bermalam di Yogyakarta, baterai dan jarak tempuh masih tersisa sekitar 50% dan jarak 210 km.

Setelah tiba di hotel kami tidak melakukan pengisian daya sama sekali, bahkan setelah berkeliling kota Yogyakarta di malam hari untuk mencari kudapan malam.

Pada area parkir Candi Prambanan, tersedia SPKLU berdaya 60 kw

Esoknya kami memutuskan berkunjung ke candi Prambanan, dan ternyata tersedia SPKLU berdaya 60 kw di area parkir. Sontak kami segera menuju SPKLU tersebut dan melakukan pengisian daya secukupnya saja, hingga kami selesai ‘sowan’ ke setiap candi di kawasan Prambanan ini.

Tak terasa 2 jam berlalu dan saatnya menuju kembali ke Yogyakarta untuk berburu kuliner khas lainnya. Pengisian daya Hyundai Ioniq 6 kami ternyata berlangsung selama 73 menit dan terisi 59,7 kWh. Biayanya? 159 ribu rupiah saja! Kali ini, kapasitas baterai terisi penuh hingga 100%.

Siang itu kami kembali ke Yogyakarta dengan rasa optimis karena tidak perlu ‘charge’ lagi bahkan hingga melakukan perjalanan pulang nanti. Beruntung penggunaan di dalam kota memang tidak banyak menguras daya baterainya, terlebih Yogyakarta adalah kota kecil yang jarak antar pusat keramaiannya tidak terlalu jauh.

Konsumsi listrik Ioniq 6 cukup impresif

Benar saja kami tidak perlu mengisi ulang daya keesokan harinya. Saat kami berburu kuliner dan oleh-oleh, bahkan hingga kami memulai perjalanan pulang ke Jakarta hari Selasa, 23 Januari 2024. Dalam perjalanan pulang ini, kami memilih untuk melakukan antisipasi lebih awal.

Singgah sebentar di kota Semarang demi memenuhi rasa penasaran kami kepada Ayam Goreng Pak Supar yang paripurna. Sembari menikmati kudapan malam istimewa ini, kami mengisi daya kembali di SPKLU PLN UP3 Semarang sebesar 107 ribu rupiah dengan daya terisi 40 kWh.

Kami membuat rencana lebih matang agar tidak perlu memacu adrenalin, akibat daya yang menipis di tengah kesulitan menemukan SPKLU yang tersedia. Tancap gas, setelah tiba di rest area km 101 ruas Cipali, akhirnya kami memutuskan untuk kembali men-’charge’ Ioniq 6. Sekaligus memanfaatkan waktu charge untuk memejamkan mata sejenak mengingat saat itu sudah larut malam. 161 ribu rupiah telah terbayar dan 59,4 kWh terisi, kami tiba di rumah dengan sisa kapasitas baterai 60%.

Perbandingan Biaya Operasional Mobil Listrik vs Mobil ICE

Hyundai Ioniq 6 tes luar kota ke Yogyakarta

Bentuk komunikasi yang menonjolkan ‘murahnya’ ongkos operasional jika menggunakan mobil listrik memang tidak salah. Saat dijumlahkan, total biaya untuk mengisi ‘bahan bakar’ Ioniq 6 ini, jauh lebih murah dibandingkan dengan mobil Internal Combustion Engine (ICE) dengan performa dan kemampuan yang serupa.

Kami melakukan pengisian 4 kali dengan biaya total Rp 595.000. Kalau dibayangkan jumlah ini untuk mengisi bahan bakar RON 98 di mobil ICE berperforma serupa, hanya mendapatkan sekitar 42-45 liter yang sepertinya tidak cukup untuk perjalanan berangkat saja.

Namun, sekali lagi pemilihan mobil sangat bergantung pada kebutuhan dan kebiasaan Anda. Jika Anda seseorang yang memiliki mobilitas tinggi dan membutuhkan efisiensi waktu, mobil listrik bukan pilihan bijak menjadi mobil pertama dan satu-satunya untuk Anda.

4 kali charge dengan biaya Rp 595 ribu bikin mobil listrik jadi mobil pertama menarik

Apalagi jika Anda bepergian menuju kota lebih kecil yang sulit untuk menemukan SPKLU.  Hal seperti ini, membutuhkan progress dan pertumbuhan yang lebih cepat dari PLN maupun pihak terkait lain, agar dapat menambah jumlah dan kapasitas pengisian daya untuk mobil listrik di lokasi yang lebih merata.

Simak terus Moladin.com untuk update berita terbaru seputar otomotif.

 

Related posts

GJAW 2024 : Fakta Pabrikan Jepang “Sungkan” Lihat Gebrakan Mobil-mobil Baru Asal Cina?

inDrive.Kurir Gelar Lomba Berhadiah Liburan ke Bali

Fakta Menarik Marselino Ferdinan, Pernah Dapat Bonus Mobil dari Klub Eropa